BAB VI
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 14
(1)Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.
(2)Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan.
(3)Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
b.Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
c.Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.
Pasal 15
(1)Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional.
(2)Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
(3)Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat:
a.prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;
b.arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi;
c.rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan
d.rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.
Pasal 16
(1)Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.
(2)Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
a.Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b.Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan
c.Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.
(3)Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:
a.prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan
d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.
Pasal 17
(1)Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.
(2)
Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
a.Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b.Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
c.Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d.Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
e.Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(3)Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:
a.prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;
b.arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;
c.rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan
d.rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Ruang Lalu Lintas
Paragraf 1
Kelas Jalan
Pasal 19
(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
(2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;
c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
(3)Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton.
(4)Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 20
(1)Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh:
a.Pemerintah, untuk jalan nasional;
b.pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c.pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
d.pemerintah kota, untuk jalan kota.
(2)Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.Paragraf 2
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan
Pasal 21
(1)Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.
(2)Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan.
(3)Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(4)Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1)Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.
(2)Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.
(3)Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
(4)Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
(5)Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(6)Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7)Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1)Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar