Indikator dan Fakta Kerusakan Sistem Ketatanegaraan Kita

Oleh M Hatta Taliwang 
Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta

Banyak intelektual yang masih percaya bahwa Jokowi akan mampu atasi masalah-masalah besar yang dihadapi bangsa. Kami yang sejak awal kritis terhadap Jokowi dianggap underestimate terhadap Jokowi dan sering dikuliahi oleh pembela-pembela Jokowi. Berkali-kali kami katakan bahwa persoalan bangsa kita bukan semata pada figur pemimpin/presiden tapi ada masalah berat pada sistem.

Kami sering menganalogikan dengan mobil. Sebagus apapun sopirnya mobil Indonesia ini ada masalah di mesin, AC dan lain-lain. Jadi yang dibutuhkan sopir dengan tim montir yang membenahi sistem mobil ini. Apakah sopir Jokowi bisa merangkap montir? Kami sangsi karena SIM B saja mungkin belum punya. Itulah esensi yang membedakan cara pandang kami dengan sebagian teman terhadap Jokowi. Jadi tak ada ketidaksukaan pribadi kami terhadap Jokowi.

Beberapa waktu yang lalu kami pernah tulis fakta/ indikasi bahwa ada masalah serius dalam sistem ketatanegaraan kita yang sangat mempengaruhi output kita sebagai bangsa. Dan juga tentu mempengaruhi kinerja presiden.

Fakta/Indikasi yang aneh:
1. Banyak orang orang pintar dan baik tetapi tidak terserap oleh sistem ketatanegaraan kita. Tapi banyak orang yang biasa-biasa saja bahkan bermasalah bisa mendapat posisi menentukan. Salah satu sebabnya karena ada yang kurang baik dalam sistem kepartaian (kaderisasi, rekruitmen, promosi dll).

2. Sudah belasan tahun kita punya lembaga tinggi negara seperti DPD RI. Bukan salah anggotanya mereka tidak berfungsi optimal tetapi sistemnya yang tidak jelas sehingga praktis kita (negara) mengeluarkan biaya untuk tugas simbolik saja. Seperti ketimun bongkok masuk karung tidak dihitung di luar karung juga tak dianggap.

3. Pada saat Pemilu legislatif, semua caleg bernyanyi tinggi gunung seribu janji. Karena memang lidah tak bertulang. Mereka dipilih langsung oleh rakyat. Sampai di Senayan yang dominan diperjuangkan adalah suara partai karena disetel oleh lembaga Fraksi. Partainya disetel oleh pemilik modal. Sehingga kami pernah tulis DEMOKRASI KITA : Dari Rakyat, Oleh Rakyat Untuk Konglomerat.
Tak ada yang salah dengan kader partai dan caleg tapi lagi-lagi sistemnya. Lebih gila lagi wakil rakyat bisa digusur dari Senayan oleh partai. Tentu saja semua situasi tersebut mempengaruhi output DPR yang berkaitan dengan fungsi pengawasan, legislasi dan anggaran. Tentu saja sangat merugikan rakyat, bangsa dan negara secara keseluruhan sebagai sebuah sistem.

4. DPR punya kewenangan lain: melakukan fit and proper test terhadap calon Hakim Agung, calon Gubernur BI, calon Kapolri, calon Panglima TNI, calon Dubes, calon KPK dan lain-lain. Padahal rekrutmen calon anggota DPR saja oleh partai masih dipertanyakan kualitasnya. Tiba-tiba mereka menjadi penguji untuk jabatan-jabatan strategis negara. Sehingga yang terjadi sandiwara dibiayai negara. Tak ada yang salah dengan anggota DPR, tapi sistem itu aneh. Dan untuk keanehan itu negara mesti membayar.

5. Secara teoritis Presiden butuh grip yang kuat ke propinsi dan daerah untuk mensukseskan program yang disampaikan saat kampanye. Oleh sistem otonomi dan demokrasi liberal Presiden bisa berbeda partai dengan Gubernur/Bupati/Walikota. Dalam banyak kasus kadang Gubernur atau Bupati lebih loyal kepada Ketua Partai dari pada ke Presiden. Atau Bupati sering mengabaikan arahan Gubernur dan lain-lain. Bagaimana bisa menjadi Presiden efektif atau Gubernur efektif kalau situasinya seperti itu. Lagi-lagi ini masalah kesisteman.

6. Setelah amandemen UUD 45 tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara yaitu MPR RI. Semua menjadi Lembaga Tinggi Negara (LTN). Praktis LTN seperti Lembaga Kepresidenan, MA, BPK, DPR, DPD, MK, KPK dan lain-lain jadi “Kerajaan” masing-masing.
Egocentrisme lembaga mengental. MPR sebagai tempat mempertanggungjawabkan tugas di masa akhir jabatan tidak diperlukan. Rakyat tidak tahu apa kerja mereka, tahu tahu bubar jalan. Presiden yang memimpin 250 juta rakyat cukup di SK kan oleh KPU. Selesai tugasnya tidak merasa perlu pamit secara terhormat di depan MPR. Ya aneh saja. Sistem ini hemat kami tidak membangun rasa bertanggung jawab. Mau berhasil atau gagal. Tidak ada reward dan punishment tidak ada yang perlu dirisaukan. Malah bisa ikut Pilpres atau kontes lagi.

7. Belum lagi bila bicara sistem ekonomi yang super liberal. Sejak LoI (letter of intent) ditandatangani hingga lahir lk 115 UU yg diarahkan asing (Bank Dunia dkk) Indonesia praktis tidak berdaulat lagi dalam SDA, Perbankan, Tanah, Air, Retail dll. Ambil contoh perbankan kalau Pemerintah mau membangun proyek besar, sementara bank-bank dikuasai asing, apa mungkin bisa dapat supporting dana. Padahal bank asing kerjanya menyedot sumber daya keuangan rakyat Indonesia bagaikan vacum cleaner menyedot debu.

Seratus disedot paling banyak 18 yang diputar di Indonesia lagi. Selebihnya diputar di negeri yang lebih menguntungkan. Sistem ekonomi Neoliberal merusak sistem politik negara berdaulat. Mekanisme dan institusi demokrasi, seperti pemilihan umum, lembaga perwakilan rakyat, dan partai politik, dimanipulasi sedemikian rupa sekedar sebagai alat menciptakan konsensus dengan rakyat. Sementara proses pengambilan keputusan politik secara real diambil alih oleh institusi-institusi global yang tidak pernah mendapat mandat rakyat, seperti IMF, Bank Dunia, WTO, dan lain-lain.

Kalau saya bertanya apakah bergabungnya Indonesia ke Masyarakat Ekonomi ASEAN atas persetujuan rakyat? Pasti jawabannya bingung. Sejak kapan rakyat ditanya. Dalam kampanye Pemilu pun tak ada caleg yang bertanya. Tahu-tahu rakyat dicemplungin aja. Entah akan jadi apa rakyat Indonesia di MEA, ora mikir.!
Kalau saya tulis semua tentang keanehan-keanehan dan masalah sistem ketatanegaraan pasca Reformasi ini pasti tidak cukup 50 halaman. Saya tidak tahu apakah para profesor perancang amandemen UUD 45 menyadari atau tidak fakta-fakta ini. Kami sudah mencoba mengumpukan ahli-ahli tatanegara untuk mendiskusikan dan mencari solusi atas problem sistem konstitusi ini tapi mengundang ahli-ahli tata negara itu bagaikan mengangkat batu besar ke atas bukit.

Hanya sedikit profesor tata negara yang rendah hati dalam urusan ini. Problem konstitusi ini yang berat mengganjal kinerja Presiden, sehebat apapun Presiden itu. Inilah agenda prioritas kalau Indonesia sungguh mau berubah. Saya kira perlu kebesaran jiwa pendukung Jokowi untuk memahami kompleksitas masalah ini, agar tidak membabi-buta membela tanpa memahami masalah besar (sistem) yang dihadap Presiden.

Sumber: Teropong Senayan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar