Belajar dari Nilai Juang We Imaniratu Raja Bone Ke-25

Pengantar
                Dalam lembaran sejarah Kerajaan Bone ditemukan banyak catatan yang memperlihatkan keberagaman sikap raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut. Sikap yang bernilai kejuangan baik dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negerinya dari serangan musuh, maupun dalam tata cara pelaksanaan system pemerintahannya.
                Interpretasi kesejarahan tentang Kerajaan Bone memang telah dilakukan oleh banyak pihak berupa rekaman masa silam melalui berbagai tulisan dan pemaparan. Namun sejumlah keterangan baik dalam lontarak maupun cerita lisan terasa masih sangat kurang, bahkan banyak yang sulit untuk dipahami dan hanya dapat dipandang sebagai mitologi belaka. Oleh karena itu penggalian data dan fakta sejarah selanjutnya dibutuhkan untuk menemukan mata rantai sejarah yang hilang utamanya pasa masa kedatangan bangsa asing dari Eropah (Inggris dan Belanda) dengan maksud penjajahannya.
                Tulisan singkat yang mengangkat sedikit tentang We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835) ini, pada dasarnya merupakan penelusuran eksistensi kejatidirian masyarakat Bone dimasa lampau. Data yang sedikit ini diharapkan dapat member konstribusi sejarah local (kerajaan Bone) yang berhubungan dengan tema “ Penggalian nilai-nilai Kepahlawanan We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV “ sebagai mana yang diinginkan dalam seminar kearsipan ini.
                Walaupun harus diakui bahwa materidatadan fakta tang diketengahkan dalam tulisan ini masih sangat kurang bahkan mungkin tidak terlalu penting, namun penulis berharap semoga dianalisis oleh peserta seminar. Artinya, apa yang diketengahkan oleh penulis setidaknya dapat menjadi sekedar “ tanda baca “ dari untaian kalimat sejarah-sejarah Kerajaan Bone yang panjang dan berliku-liku.
                Penuturan sejimlah rentetan peristiwa dalam rangka upaya mengungkapkan data dan fakta sejarah Kerajaan Bone, terutama pada masa kedatangan bangsa asing dengan maksud penjajahannya, memang sangat penting untuk dilakukan. Karena data dan fakta sejarah tersebut, tidak hanya memberikan dan mengungkapkan keterangan-keterangan yang objektif berhubungan sikap dasar orang Bugis yang dikenal dengan “ sirik dan pesse’ “
Tetapi juga tentang nilai-nilai kejuangan yang dilakukan oleh seorang raja dalam mempertahannkan kemerdekaan dan kedaulatan wilayah kekuasaannya.
                We Maniratu Arung Data merupakan salah satu dari enam raja perempuan yang pernah memerintah di Kerajaan Bone, Yaitu ; 1. We Banrigau Makkalempie Mallajange’ ri Cina Raja Bone-IV (1496-1516), 2. We Tenri Pattuppu Raja Bone-X (1602-1611), 3. Batari Toja Daeng Talaga Raja Bone-XVII (1714-1715), kemudian terpilih lagi sebagai Raja Bone-XXI (1724-1749)  4. We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835), 5. Pancaittana Besse Kajuara Raja Bone-XXVIII (1857-1860), dan 6. Fatimah Banri Raja Bone-XXX (1871-1895).
                Atas mufakat dari anggota Dewan Adek Pitu Kerajaan Bone dalam tahun 1823, We Maniratu Arung Data diangkat menjadi Raja Bone-XXV menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Matinroe’ ri Ajabbenteng Raja Bone-XXIV (1812-1823). Pada masa pemerintahannya, We Maniratu Arung Data dikenal sebagai raja yang paling anti penjajahan Belanda.

Sedikit Tentang Namanya
                Untuk lebih mengenal seseorang perlu ada upaya untuk mengorek lebih jauh tentang nama, gelar, dan atribut lain yang melekat pada dirinya. Bahkan lebih dari itu, perlu pula ditelusuri tentang asal-usulnya, nama kedua orang tuanya, tempat dan waktu kelahirannya. Seperti halnya Raja Bone-XXV yang memerintah dari tahun 1823-1835, kelihatannya ada beberapa versi tentang namanya yanh dituliskan oleh sejumlah penulis sejarah Sulawesi Selatan.
                Dari berbagai catatan ditemukan beberapa nama Raja Bone-XXV yang digelar Matonroe ri Kessi (Yang wafat di Kessi), dimana sejumlah penulis sejarah mencatatnya, antara lain ;
1.         Abdurazak Daeng Patunru, dkk. Dalam “sejarah Bone “ yang diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Tahun 1989,menuliskan nama Raja Bone-XXV (1823-1835) adalah I Benni Arung Data Matinroe ri Kessi.
Catatan ; menurut berbagai sumber dari tokoh masyarakat setempat mengatakan bahwa nama I Benni Arung Data, ditemukan pada catatan-catatan Belanda yang berusaha untuk menguasai Bone pada masa pemerintahan Raja Bone-XXV tersebut. Kalau keterangan ini benar, maka kemungkinan nama I Benni Arung Data hanyalah mengikuti ucapan Belanda yang tidak terlalu pasih dalam menyebut We Maniratu Arung Data. Tentang hal ini, mungkin perlu untuk dilakukan penggalian dan penelusuran yang lebih mendalam.
2.       Dalam lontarak Akkarungeng Bone yang diterbitkan dengan biaya pemerintah Daerah Tkt. I Sulawesi Selatan Tahun 1985, tertulis nama Arungpone ke 25, adalah We Manneng Arung Data.
3.       Dalam buku Bone Selayang Pandang yang ditulis oleh Andi Muhammad Ali (1986) menyebut nama Arungpone-XXV adalah I Mani Arung Data.
4.        Dalam buku Arus Perjuangan di Sulawesi Selatan, tahun 1989 yang ditulis oleh Drs. Sarita Pawiloi, menyebutkan nama Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah I Maning Arung Data.
5.       Dalam naskah sejarah Bone yang ditulis oleh Andi Palloge Petta Nabba (tanpa tahun) menyebutkan nama Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah I Maniratu Arung Data digelar Sultanah Rajituddin Matinroe’ ri Kessi.
6.       Sedangkan dalam Surek Bilang (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng Matinroe’ ri Rompegading Raja Bone-XXV (1775-1812) yang tidak lain adalah ayah kandung Raja Bone-XXV, diketahui bahwa anak perempuannya itu bernama We Maniratu. Pada saat Riulok’sulolona (acara tradisional atas kelahiran seorang anak) dihadiahkan akkarungeng (wilayah kekuasaan) yaitu “Data”. Menurut sejumlah tokoh masyarakat, tempat itu berada dalam wilayah Lalebbata (Ibukota Kerajaan Bone). Dengan demikian anak perempuannya itu bernama lengkap We Maniratu Arung Data.
Tentang tempat yang bernama “Data” sampai saat sekarang juga masih menjadi kontraversi, sebab ada yang berpendapat bahwa Data berada dibagian selatan Kerajaan Bone.
Dalam Surek bilang La Tenri Tappu To Appaliweng tersebut diketahui bahwa We Maniratu Arung Data lahir pada tanggal 14 Oktober 1776, seperti bunyi catatan;
“14 Oktober 1776, purai 10 garagatae’ najaji anakna Puanna Batara Tungke-Makkunrai Anakna-Alhamdu lillah” artinya; 14 oktober 1776, sesudah pukul sepuluh malam- lahirlah anak Puanna Batari Tungke- Perempuan anaknya- Alhamdu lillah”.
“Upakuruk sumangek- I Puanna Batara Tungke se’ddi je’mma- anakna uwa’re’ng inungeng butung- karawik ulaweng” artinya; saya bangkitkan semangat Puanna Batara Tungkedengan memberinya orang satu- anaknya saya beri gelas minum butung- karawak emas”.
Selanjutnya pada tanggal 23 Desember 1776, La Tenri Tappu To Appaliweng kembali menulis catatan :
“Utudattudang ri Salassae’ mitaitai We Maniratu” artinya; saya duduk-duduk di selassae’ menemui We Maniratu”
Menurut Surek Bilang tersebut, Batara Tungke Arung Timurung adalah anak pertama La Tenri Tappu To Appaliweng dengan istrinya We Padauleng atau We Tenri Pada, yang lahir pada tanggal 12 April 1775, We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835) adalah anak ke-2 yang lahir pada tanggal 14 Oktober 1776. Sedangkan La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka Raja Bone-XXIV (1812-1823) adalah anak ke-3 yang lahir pada tanggal 12 Mei 1791.
Dalam Lontarak Akkarungeng Bone diketahui bahwa La Tenri Tappu To Appaliweng dengan isterinya We Tenri Pada melahirkan 13 orang anak, yaitu; 1. Batara Tungke Arung Timurung, 2. We Maniratu Arung Data, 3. La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka, 4. La Mappaseling Arung Panynyili, 5. La Tenri Sukki Arung Kajuara, 6. We Kalaru Arung Pallengoreng, 7. La Tenri Bali Arung Ta’, 8. La Mappaewa Arung Lompu, 9. La PAremma Rukka Arung Karella, 10. La Temmu Page Arung Paroto, 11. La PAttuppu Batu Arung Tonra, 12. La Pawawoi Arung Timurung, dan 13. I Mamuncaragi.
Mungkin banyak yang berpendapat bahwa apalah apalah arti sebuah nama untuk dipermasalahkan, namun menurut heman penulis “nama” adalah identitas yang paling melekat pada diri seseorang sekaligus membuatnya abadi dalam lembaran sejarah kehidupannya. Apalagi nama seorang Raja seperti We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV yang pada masa hidupnya memiliki banyak aktivitas yang berorientasi kepada kemaslahatan negeri dan bangsanya dalam menghadapi penjajah Belanda.
Oleh karena itu, melalui tulisan yang singkat ini, penulis mengajak kepada pemerhati  sejarah local untuk membuat kesepakatan bahsa siapa sesungguhnya nama Arungpone ke-25 yang memerintah dari tahun 1823-1835 itu. Hal ini dimaksudkan agar generasi kita yang akan dating tidak terjebak dalam suatu pemahaman yang berbeda-beda mengenai nama raja wanita yang terkenal keberaniannya dalam melawan Belanda tersebut.

Siapa itu We Maniratu Arung Data ?
Sebelum mengungkap lebih jauh tentang kisah-kisah heroiknya dalam mempertahankan Kerajaan Bone dari serbuan tentara Belanda pada masa pemerintahannya sebagai Raja Bone-XXV (1823-1835), ada baiknya menelusuri sedikit tentang siapa sesungguhynya We Maniratu Arung Data itu.
Baginda adalah anak ke-2 dari La Tenri Tappu To Appaliweng Matinroe’ ri Rompegading Raja Bone-XXIII (1775-1812) dengan isterinya We Pada Uleng atau We Tenri Pada Arung Timurung. Dalam lontarak Akkarungeng Bone diketahui bahwa La Tenri Tappu To Appaliweng adalah anak dari We Hamidah Arung Takalarak yang juga dikenal dengan gelar Petta Matowae’ dengan isterinya La Mappapenning Daeng Makkuling sepupu satukalinya yang bernama We Padauleng atau We Tenri Pada, anak dari saudara laki-laki We Hamidah Arung Takalarak, yaitu La Baloso To Akkaottong Ponggawa Bone dengan isterinya Arung Lompeng. Dari perkawinan tersebut, melahirkan 13 orang anak diantaranya adalah We Maniratu Arung Data yang kemudian menjadi Raja Bone-XXV (1823-1835).
La Tenri Tappu To Appaliweng dan We Mahidah Arung Takalarak adalah anak La Temmassonge To Appaweling Raja Bone-XXII Matinroe ri Malimongeng (1749-1775) dengan isterinyan We Mommo Sitti Aisyah yaitu cucu Syekh Yusuf (Tuanta Salamaka ri Gowa). Sedangkan La Temmassonge To Appaweling adalah anak dari La Patau Matanna Tikka Matinrore’ri Nahauleng Raja Bone-XVI (1696-1714) denganisterinya We Sundari Datu Baringeng (Soppeng).
Dari Surek Bilang (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng diketahui bahwa We Maniratu Arung Data lahir pada tanggal 14 Oktober 1776 di Lalebata (Watampone). Pada waktu itu La Tenri Tappu To Appaliweng baru satu tahun memangku jabatan sebagai Arumpone (Raja Bone).
Cerita lisan yang terdapat dalam masyarakat Bone mengatakan bahwa sejak kecil We Maniratu telah memperlihatkan sikap pemberani yang melebihi sikap laki-laki. Walaupun dia seorang anak perempuan, tetapi keberaniannya senantiasa terlihat terutama dalam membela teman-temannya yang mendapat masalah dengan orang lain, termasuk dalam hal mempertahankan pendapat yang dianggapnya beanar. Keberaniannya dalam mempertahannkan hak-hak yang dianggapnya benar semakin Nampak ketika diangkat oleh Dewan Adek Pitu Kerajaan Bone menjadi Arumpone (Raja Bone)-XXV pada tahun 1823. Pengankatannya itu adalah untuk menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Palakka Raja Bone-XXIV yang juga dikenal sebagai raja yang sangat anti penjajahan.
Misalnya saja pada masa pemerintahannya We Maniratu Arung Data dikenal sebagai pelopor bagi sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan dalam menolak pembaharuan perjanjian Bungaya (18 November 1667) yang dikehendaki Oleh Belanda setelah memenangkan Perang Eropah dengan mengalahkan Inggris. Sebagai akibat pembangkangan Raja Bone We Mani itu, maka pada tanggal 14 Maret 1824, Kerajaan Bone di bawah kepemimpinan We Mani diserang oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh jenderal Van Goen melalui Pantai Bajoe (Andi Muh. Ali, 1986 ; 60).
Kekuatan militer Belanda di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Jenderal Van Goen, memang kelihatan kewalahan untuk menhadapi perlawanan raja-raja yang menolak untuk menjalin kerja sama , terutama Raja Bone yang dengan tegas menyatakan tidak mau kerja sama dengan pihak Belanda.
Kedatangan bangsa asing dari Eropah (Inggris dan Belanda) di Sulawesi Selatan dimulai kembali pada tahun 1814. Ketika itu bangsa Inggris menggantikan Belanda menjajah Nusantara sejak tahun 1811. Pada akhir tahun 1811, Inggris menduduki Makassar. Residen bangsa Inggris yang bernama Philips berkeinginan mengatur segala sesuatunya baik pemerintahan maupun perdagangan dan lain-lain sesuai dengan kemauannya semata. Tetapi maksud tersebut ditolak oleh Raja Bone To Mappatunru Arung Palakka yang merupakan saudara kandung We Maniratu Arung Data. Raja ini cukup keras dan anti penjajahan asing.
Setiap rencana penguasa Inggris ditolaknya dengan tegas, akhirnya pada tanggal 2 Juni 1814 penguasa Inggris mengirim pasukan ke Bone dibawah pimpinan Jenderal Mayor Nightingale untuk menyerang dan melumpuhkan pertahanan Raja Bone To Appatunru. Karena kalah kuat, maka pasukan Bone mundur kearah Maros dan tetap melakukan perlawanan dengan taktik perang gerilya. Dengan demikian, pasukan Inggris berhasil menduduki kota Watampone. Tetapi pasukan Inggris tidak menetap di kota Watampone dan kembali ke Makassar. Hal ini membuat pasukan Bone lebih bebas mengatur perlawanan yang dibantu oleh pasukan Maros dan kerajaan lainnya.
Pada tahun 1816 berdasarkan Comvention London, Belanda mengambil alih kekuasaan tersebut dari Inggris. Di Makassar penyerahan kekuasaan tersebut berlangsung pada bulan Oktober 1818. Selanjutnya pada tahun 1824 Gubernur Jenderal Van der Capellen datang ke Makassar. Ia sangat khawatir dengan berkobarnya perlawanan yang makin hebat dari kalangan raja-raja di Selawesi Selatan. Untuk itu diundanglah raja-raja di Sulawesi Selatan ke Makassar guna diajak kerja sama. Sejumlah raja memang bersedia hadir untuk menanda tangani perjanjian Ujung Pandang yang merupakan pembaharuan dari Perjanjian Bungaya. Akan tetapi raja Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Suppa dan raja-raja Mandar tidak hadir.
Diantara raja-raja yang tidak mau menjalin kerja sama dengan belanda adalah Raja Bone yang pada waktu itu telah dijabat oleh We Maniratu Arung Data Matinroe’ ri Kessi. Raja perempuan ini adalah saudara dari Raja Bone-XXIV To Appatunru Arung Palakka yang kelihatannya lebih anti penjajahan asing. We Maniratu Arung Data lebih tegas menyatakan penolakannya untuk kerja sama dengan pihak penjajah.
Menurut sumber-sumber lisan, untuk memperkuat pasukannya We Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata lawida (semacam alat tenun yang runcing). Disamping itu, semakin ditingkatkan pula jumlah pasukan laki-laki yang ditempatkan diberbagai  titik pertahanan. Lalu dengan jjiwa kesatria We Maniratu Arung Data bersama pasukan wanitanya terjun langsung ke medan perang untuk menghadapi musuh.
Melihat kekuatan pasukan Bone dan Rajanya yang sangat anti penjajahan, membuat belanda sangat khawatir. Apalagi setelah diketahui bahwa Raja Bone mengadakan kerjasama dengan kerajaan tetangganya seperti Maros, Sinjai, Pangkajenne, Soppeng, Wajo, Luwu dan lain-lain. Oleh karena itu, colonel van Schelle selaku pimpinan Belanda di Makassar terpaksa meminta bantuan tambahan pasukan dan persenjataan dari Batavia. Untuk itu, dikirimlah dari Batavia pasukan di bawah pimpinan Kolonel Bischoff dan bertugas untuk merebut kembali Maros, Pangkajenne, dan Sigeri dari kekuasaan pasukan Bone yang telah lama mendudukinya.
Kemudian pada akhir tahun 1824 Jenderal Mayor J.J.Van Geen datang pula dari Batavia dengan tugas ekspedisi yang teerdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri, dan angkatan laut yang dipimpin Kapten Terzee Piterzen. We Maniratu Arung Data selaku Raja Bone memang telah menyusun suatu strategi dan persiapan yang cukup matang untuk menghadapi ekpedisi Jenderal Mayor Van Geen tersebut. Raja wanita yang berhati baja itu tidak henti-hentinya membakar semangat pasukan Bone untuk melawan pasukan penjajah Belanda. “ Jangan biarkan penjajah Belanda itu menginjakkan kakinya di Tana Bone “ demikian kalimat-kalimat yang selalu diserukan oleh We Maniratu Arung Data kepada pasukan Bone yang sedang berada di medan perang.
Menurut cerita lisan yang terdapat dalam masyarakat Bone diketahui bahwa We Maniratu Arung Data adalah seorang wanita yang keberaniannya melebihi keberanian sebahagian laki-laki. Hal ini Nampak pada saat memimpin pertempuran melawan Belanda di berbagai tempat. Masih menurut cerita lisan tersebut mengatakan bahwa We Maniratu Arung Data kemanapun ia pergi selalu membekali diri dengan keris dipinggang, walaupun ia tetap dijaga oleh pasukan kerajaan Bone.
Untuk memasuki wilayah kerajaan Bone, pasukan Belanda terlebih dahulu harus berhadapan dengan pasukan Maros, Bantaeng, Bulukumba dan Sinjai. Oleh karena itu ekpedisi van Geen baru bias menembus pertahanan pasukan Bone di Bajoe pada tanggal 24 Maret 1825, setelah membumi hanguskan Sinjai pada tanggal 19 Maret 1825.
Kenyataan tersebut menandakan bahwa Raja Bone We Maniratu Arung Data mendapat dukungan kuat dari raja-raja tetangganya dalam melawan penjajah Belanda. Setelah pesisir selatan, seperti Bulukumba dan Bantaeng di bersihkan oleh tentara Belanda dibawah pimpinan Mayor Lobron de Vosela, melanjutkan perjalanan ke Kajang dan Sinjai dengan maksud bertemu dengan induk pasukan yang akan memasuki Bone (Abdurrazak Daeng Patunru, 1989 ; 247)
Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan We Maniratu Arung Data melawan Belanda hingga akhir tahun 1835 yaotu setelah We Maniratu Arung Data wafat dan digantikan oleh saudaranya La Mappaseling Arung Panynyili sebagai Raja Bone-XXVI.
Dalam lontarak akkarungen Bone disebutkan bahwa We Maniratu Arung Data wafat pada tahun 1835 di Kessi pada usia 59 tahun. Menurut berbagai sumber mengatakan bahwa tempat yang bernama Kessi itu berada dalam Lalebbata (Ibukota Kerajaan Bone).
Namun sampai hari ini belum ditemukan bukti akan keberadaan tempat tersubut, sehingga masih menjadi kontraversi dikalangan pemerhati sejarah local. Karena sebagian pula yang mengatakan bahwa Kessi berada dibagian selatan Kerajaan Bone. Mungkin perbedaan seperti itu perlu dilakukan penelusuran yang lebih jauh untuk menentukan tempat yang bernama Kessi dimana We Maniratu wafat. Dikatakan pula bahwa We Maniratu Arung Data selama hidupnya tidak pernah menikah, sehingga tidak memiliki keturunan langsung.
Inilah sedikit data dan fakta sejarah tentang We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835) yang sempat penulis persembahkan pada seminar kearsipan ini. “Alai se’dde’e’ nare’kko engkai mappe’de’ce’ng – sampe’yangngi mae’gae’ nare’kko engkai makkasolang” (ambillah yang sedikit kalau dapat berguna – tolaklah yang banyakl kalau bakal menyiltkan).
Begitulah harapan penulis dalam memaparkan data dan fakta yang singkat ini kepada peserta seminar kearsipan ini. Lebih kurangnya mohon dimaafkan. “Laoni mai’ siatting lima – siola tonra – tassibelle’yang” (marilah saling bergandeng tangan – menuju kearah yang satu – dan tidak saling menghianati). (Teluk Bone)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar