Tantangan Sinkronisasi Menerjemahkan Otonomi Daera


Oleh: Suriani Mappong
Kata sakti "Otonomi Daerah" (Otda) merupakan harapan yang sangat didambakan oleh penyelenggara pemerintah daerah dan masyarakatnya.

Ketika kran reformasi dibuka, dua kebijakan penting pun lahir yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dua kebijakan itu menjadi "angin segar" bagi penyelenggara negara di daerah dan disambut baik oleh masyarakat yang mungkin pada awalnya masih kurang paham.

Setelah 13 tahun regulasi itu digulirkan, banyak distorsi ataupun kontroversi "kekuasaan" yang terjadi di lapangan sebagai wujud penerjemahan otda.

"Implementasi otonomi daerah yang nilai belum maksimal, karena masih ada beberapa kebijakan yang bersifat sentralistik yang semestinya sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah," kata anggota DPRD Kota Makassar Nurmiati.

Dia mengatakan, penerjemahan otonomi daerah masih banyak yang belum sejalan dengan "roh" reformasi birokrasi yang digagas mantan Menteri Otonomi Daerah Prof Dr HM Ryaas Rasyid pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa pemberlakukan otonomi daerah sejatinya bertujuan untuk memperkuat peranan pemerintah daerah (Pemda), sehingga pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam perannya di pentas global.

Namun fenomena di lapangan, lanjut legislator asal Partai Hanura ini, peran Pemda masih belum terlepas dari bayang-bayang pemerintah pusat.

"Justru kemudian memunculkan "persaingan" baru antara Pemda tingkat provinsi dan kabupaten/kota," katanya.

Hal senada dikemukakan akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin, Makassar Dr Muh. Darwis.

Menurut dia, kehadiran otda memicu sejumlah kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang tidak sinkronisasi dengan Pemprov di lapangan.

"Belum lagi yang menyalahgunakan kewenangan yang diberikan pusat ke daerah itu, kemudian menimbulkan banyak bupati atau walikota bermasalah karena terkait dengan pemberian izin tambang atau industri misalnya," katanya.

Fenomena lainnya, lanjut pengamat masalah sosial politik ini, Pemprov biasanya kesulitan dalam menjemput investor, karena pemberian izin ataupun kemudahan layanan dalam berinvestasi tidak sejalan di tingkat kabupaten/kota.

Belum lagi, timbulnya kesan Pemprov sudah tak "bergigi" lagi menghadapi Pemkab/Pemkot, karena kewenangan yang dimilikinya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat ke daerah sudah terkikis.

"Kebijakan langsung diturunkan ke tingkat kabupaten/kota, demikian pula dana-dana operasional untuk pembangunan dan pengembangan SDM langsung ke daerah, tidak lagi melalui provinsi," katanya.

Termasuk munculnya kabupaten/kota yang berkembang pesat di Sulsel dari segi pembangunan dan tingkat kesejahteraan dibandingkan kabupaten/kota lainnya.

"Disinilah sebenarnya peran Pemprov untuk membantu dan berupaya mensinkronkan agar kabupaten/kota dapat tumbuh bersama, tidak ada yang terlalu menonjol, sedang daerah tetangga masih tertinggal," katanya.

Kreativitas Terbangun


Badan Pekerja dari Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) Makassar Salma Ruslan mengatakan, kebijakan dan implementasi otda di daerah telah membangun kreativitas pemerintah daerah, termasuk masyarakatnya.

"Sebagai gambaran, untuk pengalokasian dana di sektor pertanian, sudah dapat mengacu pada kebutuhan petani dari bawah "buttom up", bukan lagi mengacu pada kebijakan "top down" dari pusat ke daerah," katanya.

Dia mengatakan, pada pengambilan suatu kebijakan di daerah, Pemkab/Pemkot lebih merasa percaya diri untuk membuat kebijakan di wilayah kerjanya.

Hal itu karena ada kewenangan dan "power" yang sudah diberikan melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Mengacu pada UU tersebut, otda adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Hal itu diakui salah seorang bupati di Sulsel yakni Bupati Kabupaten Maros M Hatta Rahman mengatakan, pihaknya kini dapat mengatur dan membuat kerjasama dengan pihak investor tanpa menunggu kebijakan pemerintah pusat.

"Sehingga dari segi efisiensi waktu untuk mengambil suatu kebijakan, juga cepat. Selain itu, juga dapat memicu kreativitas Pemkab untuk memajukan daerahnya," katanya.

Sementara itu, salah seorang guru SD Negeri Pammelakkang Jene, Kabupaten Maros, Sulsel Sukmawati mengatakan, dari segi penyaluran dana operasional di daerah untuk suatu program itu lebih cepat, dibandingkan ketika kebijakan masih bersifat sentralistik.

"Misalnya untuk dana operasional di sektor pendidikan yang bersumber dari APBN, dulu harus turun ke Pemprov dulu lalu ke Pemkab selanjutnya ke sekolah bersangkutan," katanya.

Namun kini, dana sektor pendidikan misalnya Dana Operasional Sekolah (BOS) dan insentif guru, sudah masuk langsung ke rekening sekolah.

Hal senada dikemukakan Ketua Kelompok Tani Toddopuli di Kabupaten Maros, Abdul Wahid.

Dia mengatakan, bantuan dana pengadaan sarana produksi (Saprodi) dulu mekanismenya sangat panjang, karena dana dari pemerintah pusat harus melewati beberapa pintu sebelum diterima petani.

"Sehingga ada dana yang biasanya tidak sebesar nilai yang dikeluarkan dari pemerintah pusat, karena kena "pajak" pada setiap pintu persinggahan," katanya.

Dia mengatakan, kini dana untuk membantu peningkatan kesejahteraan petani, sudah langsung masuk ke rekening kelompok tani, sehingga "penyunatan" dana bantuan dapat ditekan.

Terlepas dari kekurangan maupun kelebihan dari penerjemahan otda sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, muncul lagi wacana untuk menarik kembali kewenangan daerah.

Alasannya, diantaranya karena selama 13 tahun otda digulirkan, biaya operasional pemerintahan justru makin meningkat yang dipicu dengan terbukanya kran untuk pemekaran daerah.

Belum lagi, adanya ketidaksinkronan kebijakan pemprov dan pemkab/kota yang kemudian menimbulkan disharmonitas hubungan pemrov dengan pemkab/pemkot di lapangan. Termasuk adanya persaingan yang tidak sehat antarkabupaten/kota dalam memajukan daerahnya.

Semua fenomena itu, hendaknya ditelaah dan selanjutnya menjadi acuan bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi pelaksanaan otda dengan kewenangan penuh pada pemerintah daerah, agar ke depan tidak ada lagi distorsi yang menyertai implementasi otda.

Editor : Zita Meirina




Tidak ada komentar:

Posting Komentar