Inspirasi: Catatan Akhir Tahun dari Ir. Andi Taufan Tiro
Mengeluh atau merasa galau, bukan khas a-b-g atau manusia-manusia pra
dewasa. Bahkan para tokoh agung sekalipun pernah mengalami kegetiran
keras, dan memaksa mereka untuk mengeluh. Sekelas para nabi sekalipun,
pernah mengeluh. Misalnya Nabi Yakub, yang meratapi kehilangan anaknya
yang bernama Yusuf (bahkan dikisahkan, Yakub menangis sampai matanya
memutih). Kisah serupa juga terjadi pada Nabi Yunus, Nabi Musa, dan Nabi
Sulaiman.
Bedanya, mereka mengeluh dalam pasrah —dan meminta pertolongan Tuhan.
Tatkala mengeluh, mereka tak membuang martabat dan harga diri. Sebab
tidak mengeluh pada sesama manusia.
Adapun kebanyakan kita, mengeluh dengan tingkah yang berlebihan. Kita
—saat mengeluh— tak lagi memandang situasi dan tak hirau dengan
martabat diri. Mengeluh ke segala orang. Mengucapkan kata-kata yang tak
pantas. Menulis di facebook, twitter, seolah-olah ingin orang sedunia
mengasihani kita. Di saat mengeluh seperti itu, bukan manfaat dan
faedah terpetik. Melainkan tambah terjerembab dalam kehinaan. Tak
tertutup kemungkinan, orang justru tertawa dengan pelbaga keluh kesah
kita.
Buruknya Mengeluh
Rangkaian aktivitas mengeluh biasanya disertai dengan sikap-sikap
negatif. Emosi jadi super sensitif. Tak mampu berpikir rasional.
Kehilangan perspektif (dan menutup insiprasi yang baik). Intinya,
mengeluh dengan gaya kekanak-kanakan adalah jauh dari akal bening dan
rasional.
Lalu, lambat laun, kita kehilangan mental positif. Di saat mengeluh
yang berlebihan, yang terjadi adalah over pesimistik (atau
ketidakberdayaan yang berlebihan). Ini sungguh keliru. Dan berbahaya
pula.
Selain hanya melipatgandakan rasa malas (enggan bergerak), juga
memupus keberanian. Mengeluh yang keterlaluan juga merendahkan nilai
diri kita. Boleh jadi malah hanya merepotkan orang lain. Singkatnya,
mengeluh yang lebih dari proporsi, adalah menumpuk segala efek buruk.
Mulai dari kehilangan keberanian, kehilangan harga diri, kehilangan akal
sehat, kehilangan daya juang, dan juga kehilangan optimisme. Dalam
Islam, semua ini dilarang!
Islam mengajarkan sikap hilm, yakni kemampuan mental untuk
bisa bersikap tenang, tegar, dan hati-hati dalam menyikapi sebuah
masalah —yang mendera dan menyedihkan kita. Islam tak melarang kita
bersedih, duka, atau menangis. Yang dilarang adalah: menjadikan semua
itu sebagai pembenaran atas sikap-sikap buruk, misalnya menjadi sangat
sensitif, pemarah, emosional, atau perilaku berlebihan lainnya.
Memang, manusiawi saja, bahwa semua manusia memiliki kelemahan dalam
menghadapi tantangan. Tetapi itu tak boleh menjadikan kita lebih
terpuruk. Karenanya, Al Qur-an memberi sebuah harapan yang indah, untuk
mereka yang “berbuat kesalahan” atau menghadapi situasi sulit. Terletak
di Surat Az Zumar, Ayat 53, yang berbunyi: Katakanlah, Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas, terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah…
Mari camkan… Allah menyapa dengan lembut, kepada mereka yang “berbuat
melebihi batas”, agar tidak terperosok dalam keputus-asaan dan menjadi
pesimis mati. Allah menawarkan peluang untuk bangkit. Allah mengajak
kita untuk bersandar pada kekuataNYA, meminta pertolongan padaNYA, dan
meminta ampunan. Semua itu mestinya menguatkan tekad kita, bahwa tak ada
daya dan upaya, selain atas kehendakNYA.
Sayangnya, mentalitas Ummat saat ini seperti terlena dalam
keputusasaan dan terbiasa membiarkan sikap-sikap pesimis berkembang
biak. Ada kecenderungan malah, menganggap sikap kalah, diam, pasif, dan
terbuai dalam kesedihan sebagai sesuatu yang baik.
Lebih-lebih saat ini, di mana Ummat sudah begitu akrab dengan media
sosial, yang mengungkapkan ekspresi diri tanpa batas. Tiap hari, kita
selalu melihat bahasa-bahasa negatif, tentang kondisi, keadaan, dan
aneka masalah yang berkembang di masyarakat. Seakan-akan dunia sudah
akan runtuh (mirip ramalan suku Maya, yang ternyata kiamat tak terjadi).
Di mana-mana orang mengeluh. Resah. Gundah gulana. Dan bahkan ada
istilah beken, yang berarti mengagungkan kondisi jiwa yang sedang sulit,
yaitu g-a-l-a-u. Masyarakat kita tiba-tiba menjadi masyarakat yang
menikmati dan merayakan suasana galau.
Sejatinya ini sungguh bertabrakan dengan akidah.
Pokok perkaranya: aqidah Islam menggantungkan keyakinan bahwa suasana
dan keadaan yang terjadi (atau nasib) sudah ada yang mengatur. Tak ada
pihak manapun, kekuatan manapun, yang otomatis mengubah keadaan kita.
Hanya Allah saja yang mampu. Meski begitu, bukan berarti kita diam total
dan lari dari masalah. Justru, kepasrahan itu harus diiringi dengan
ikhtiar dan upaya. Ingat Surat Ar Ra’ad, Ayat 11, yang berbunyi: Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya!
Daya Tahan
Bisa jadi, semua kita sudah akrab dengan petikan hikmah yang terpapar
di atas. Kita tahu persis, bahwa Al Quran adalah memiliki nama yang
baik, yaitu Al Hudan (sebagai petunjuk) dan As Syifa (sebagai obat).
Bedanya, tiap-tiap Ummat memiliki ketajaman intelektual, kebersihan
batin, dan kekuatan Iman untuk menerapkan kaidah-kaidah ketegaran hidup
yang ada dalam Kibat Suci Ummat Islam ini.
Olehnya, mungkin perlu penguraian atas petikan-petikan Ayat Al Quran
yang mengobati jiwa kita yang sedang bersedih. Bukan karena ayat-ayat
itu tak cukup, melainkan dalam kondisi saat ini, butuh ulasan yang lebih
argumentatif. Agar bisa mengena dan punya daya sentuh.
Inti yang terdepan, sesungguhnya dalam ajaran Islam kita niscaya
harus memiliki daya tahan. Karena Islam adalah agama misi, punya tugas
melakukan perbuatan baik (amalan hasanah). Ummat Islam adalah ummat
terbaik (khoiru ummah), berfungsi sebagai khalifah di bumi (dalam rangka
mengerjakan perbaikan dan menggerakkan kemajuan).
Mana mungkin beban berat tetapi bernilai mulia itu bisa dikerjakan
oleh insan yang cengeng. Mudah mengeluh. Rewel atau cerewet menceritakan
keburukan yang terjadi. Seraya berperilaku kekanak-kanakan?
Semua tantangan itu hanya dipercayakan oleh Allah kepada Ummat Islam,
sebagai komunitas terpilih. Olehnya, wajar kalau kita wajib membangun
daya tahan diri. Tahan menghadapi godaan, hadangan, dan cobaan. Inilah
pilar pertama yang harus kita miliki. Dalam bahasa psikologi populer,
hal ini disebut dengan resilience factor, atau faktor daya tahan.
Faktor daya tahan muncul dan terbentuk dari sikap mental yang
positif, berwawasan terbuka, tumbuh di lingkungan yang baik, dan biasa
menempa diri dengan mencari jalan ke luar. Faktor daya tahan ini tak
terwujud tiba-tiba dan segera. Melainkan dari proses. Salah satu proses
yang harus dilewati adalah menjalani hidup dengan sabar.
Tentang Sabar
Daya tahan akan muncul bila kita memilki kualitas kesabaran yang
baik. Ada satu ungkapan sederhana, bahwa “orang sabar akan terhindar
dari segala keburukan yang menimpa orang-orang yang tak sabar.”
Dari sisi yang berbeda, kita bisa melihat, bahwa orang yang tak
sabar, pasti memetik resiko-resiko buruk. Karena ia akan berprasangka
buruk, bertindak tergesa-gesa, cepat marah, ingin segera mencapai hasil
tanpa kerja keras, Lebih fatal, orang tak sabar cenderung berperilaku
sembarangan, tak lagi mengindahkan baik dan buruk. Alhasil, dalam waktu
tak lama, pelbagai keburukan datang menghempas.
Semisal kita punya masalah lalu memberikan respon dengan tak sabar,
maka masalah itu bukan surut, malah jadi berlipat-lipat tambah rumit.
Maka daya tahan kita dalam berperilaku sabar bisa dilakukan dengan
mudah, yaitu memperhatikan apa-apa yang akan terjadi jika kita
berperilaku tak sabar.
Lain lagi jika menarik perspektif normal tentang kualitas sabar.
Kebanyakan kita, memahami sabar adalah dengan wawasan terbatas.
Semata-mata memaknai sabar sebagai mengalah, diam, dan tak banyak
berbuat. Dalam satu segi, ini ada benarnya. Karena istilah sabar sendiri
adalah berarti “menahan”.
Namun perspektif ini tak cukup —untuk melahirkan kualitas daya tahan
diri kita. Sebab sabar adalah begitu luas. Di situ ada makna ketekunan
(tekun dan sabar melaksanakan perintah Allah). Ada juga makna
kesungguhan (sungguh-sungguh dan sabar dalam mengikuti petunjuk Allah).
Sabar juga berisi energi keyakinan (sabar mengupayakan hadirnya
pertolongan Allah). Dan jauh lebih penting lagi, sabar adalah tiang
pancang keimanan. Seperti Hadis Nabi yang terkenal, bahwa Iman itu
terdiri dari dua perkara, yang pertama adalah sabar, dan yang keuda
adalah syukur.
Melihat betapa banyaknya mutiara hikmah dibalik kata sabar ini (oleh
Nabi bahkan disebut sebagai salah satu dari dua pokok Iman), maka tentu
kita tak boleh menyepelekannya.
Konteks Optimisme
Pun dalam hal membangun (dan mengobarkan) sikap optimisme, maka nilai-nilai kesabaran menjadi akar tunjang yang utama.
Kungkungan masalah dan belitan hidup, hanya bisa diterobos oleh
orang-orang yang mampu melihat celah dan peluang. Penglihatan itu juga
harus jernih. Bersumber dari keyakinan diri yang kuat. Ada satu teori,
yaitu yang disebut logothrapy yang dikembangkan oleh Victor
Frankl. Logotherapy itu adalah ikhtiar penyembuhan sakit jiwa, melalui
tanda-tanda dan simbol-simbol. Ilmu ini menerangkan bahwa orang-orang
yang optimis dan bersabar dalam usaha mencari jalan ke luar, jauh lebih
kuat dan lebih berpeluang untuk lolos dari ancaman mematikan.
Sebaliknya, orang yang optimis dan cengeng, malah akan habis dan
lebih buruk nasibnya. Ilmu logoterapi itu bukan hanya teori, tetapi
bersumber dari pengalaman nyata dari penulisnya sendiri, yaitu seorang
Yahudi,yang menjadi tahanan di Kamp Auzwitch milik tentanara Nazi
Jerman. Ceritanya, ketika ia dan kawan-kawannya di siksa di dalam “kamp
neraka milik Nazi Hitler”, melihat langsung bahwa orang-orang yang
cengeng segera menemui ajal. Tetapi orang-orang yang sabar dan punya
keyakinan kuat untuk hidup, malah bisa selamat.
Kisah ini memang dari orang Yahudi, tetapi ada petikan pelajaran di
sana. Bahwa kesabaran dan sikap optimis, jauh lebih banyak membantu.
Benarlah, untuk apa kita berkeluh kesah tiada ujung. Jauh lebih afdal
kalau kita selalu bersabar dan memelihara sikap optimis. Insya Allah… Sumber : Peduli, Dekat dan Merakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar