Usaha pencarian dan pengembangan energi alternatif (terbarukan) non bahan
bakar minyak (BBM) terus diupayakan. Hal ini untuk mengatasi persoalan
krisis energi berbahan fosil (minyak bumi/BBM) yang belakangan ini
jumlahnya semakin terbatas. Salah satunya adalah pemanfaatan kekayaan
sumber daya peternakan Indonesia yang menyimpan potensi energi
terbarukan, yakni biogas. Biogas merupakan sumber energi alternatif yang
berasal dari kotoran sapi.
Sektor
pertanian memiliki posisi strategis tidak hanya sebagai penghasil
pangan semata, melainkan diharapkan mampu menghidupi industri pengolahan
dan hasil-hasilnya. Melihat posisi tersebut, perlu adanya dukungan
pemenuhan kebutuhan energi yang mencukupi dengan sistem yang
terintegrasi.
Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK) Gunung Kidul,
Yogyakarta telah memunculkan suatu sistem pertanian terintegrasi atau
terpadu tersebut. Sistem Pertanian Terpadu ini berangkat dari
pengembangan peternakan sapi yang menghasilkan kotoran melimpah, diolah
dengan alat biogas untuk menopang kebutuhan pertanian.
Artinya,
alat biogas mampu menghasilkan energi bagi kebutuhan rumah tangga
petani dan olahannya. Selain itu, efluen(sampah) biogas bisa digunakan
sebagai sumber pupuk organik yang dipakai untuk bercocok tanam maupun
tambahan hijauan pakan ternak. “Terintegrasi berarti seperti sebuah
siklus. Semua komponen dalam sistem bekerja dan menghasilkan manfaat
yang memberi nilai tambah ekonomi,” ungkap Satriyo Krido Wahono,
Peneliti UPT BPPTK LIPI Yogyakarta.
Menurutnya,
selain memadukan pertanian dan peternakan, sistem ini juga merambah
pada budidaya perikanan. “Ada keterkaitan antara biogas dari kotoran
sapi sebagai sumber energi yang juga termanfaatkan untuk pupuk organik,
dengan olahan sampah biogas untuk media budidaya ternak lain, seperti
ikan,” tambahnya.
Alat Biogas
Salah
satu kunci utama dalam sistem pertanian terpadu adalah penggunaan alat
pengolah kotoran sapi menjadi biogas. Melihat secara teknis, Satriyo
menjelaskan, alat biogas atau sering disebut digester biogas biasanya
dibuat sesuai kebutuhan di lingkup peternakan maupun pertanian yang ada.
Hardi
Julendra, Peneliti sekaligus Kepala UPT BPPTK LIPI Yogyakarta
mengungkapkan, penerapan sistem pertanian terpadu berbasis alat biogas
salah satunya diujicobakan dalam penelitian di daerah Kapitan Meo,
Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). “Penelitian dilakukan dengan
membuat unit biogas dengan kapasitas 27.000 liter,” ungkapnya.
Ia
menjelaskan, alat biogas itu dibuat dengan ukuran nominal penampung gas
diameter 3 meter (m) dan tinggi 2,4 m. Volume tersebut diasumsikan
untuk menampung kotoran sapi sebanyak 9 ekor. “Bahan pembuatan
digestermenggunakan beton bertulang, saluran pengumpan dan efluen-nya (saluran sampah) dari pipa PVC diameter 4 inchi,” imbuhnya.
Kemudian, Andi Febrisiantosa, Peneliti UPT BPPTK LIPI Yogyakarta lainnya menambahkan, bak pengumpan dan efluen berasal dari pasangan bata batako dengan diameter 300 cm, tinggi 240 cm dan kapasitas tampungnya 15.000 liter.
Proses Kerja
Andi menjelaskan, sistem kerja alat biogas bermula dari pengumpanan
digester dilakukan dengan pengglontoran dan pengenceran kotoran sapi.
Pengenceran dilakukan melalui penyampuran kotoran dengan air sehingga
berbentuk lumpur. Lumpur kotoran dialirkan melalui parit yang dilengkapi
jeruji pada posisi dekat lubang pemasukan digester (alat biogas) untuk
memisahkan sisa pakan. “Dengan adanya jeruji pemisah tersebut, sisa
pakan akan tertahan sedangkan lumpurnya masuk ke dalam digester,”
tambahnya.
Dikatakan
Andi, alat biogas akan memproses lumpur dan menghasilkan gas yang
disalurkan ke perumahan dan digunakan sebagai bahan bakar kompor dan
generator set (genset) berbahan bakar gas dengan kapasitas 750 watt 220
volt. “Bahan bakar gas yang diharapkan adalah CH4 atau gas metana,”
tandas Andi.
Selain
menghasilkan gas untuk listrik, Satriyo menambahkan, sisa sampah biogas
yang keluar dari pipa pembuangan dalam bentuk lumpur dapat pula
dimanfaatkan sebagai pupuk organik. “Caranya dilakukan pemisahan antara
padat dengan cair dengan pengendapan dan penyaringan. Padatan diendapkan
satu malam serta cairannya disaring selanjutnya dianalisa kandungan
mineralnya,” urainya.
Keduanya
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik asal kandungannya sesuai yang
disyaratkan. Tak hanya itu saja, dia menuturkan, sisa biogas tersebut
juga bisa dipakai untuk media budidaya ikan maupun cacing (pakan ikan).
“Sistem pertanian terpadu berbasis biogas berupaya mengoptimalisasi
pemanfaatan limbah yang terbentuk agar lebih ramah lingkungan,”
pungkasnya.
Pengoptimalan Gas Metana dengan Filter Biogas
Terkadang
hasil pengolahan kotoran sapi dari digester (alat biogas) belum
menghasilkan gas CH4 alias metana (gas yang berperan untuk energi
listrik maupun lainnya) secara maksimal. Hasilnya adalah energi gas
untuk menghidupkan kompor maupun genset kurang optimal.
Satriyo
Krido Wahono, Peneliti UPT BPPTK LIPI Yogyakarta mengatakan, untuk
mengatasi persoalan tersebut, pihaknya telah menciptakan alat filter
biogas. “Tujuan filter adalah meningkatkan performa biogas dengan
pemurnian,” ujarnya.
Ia
menjelaskan, spesifikasi alat ini berukuran berat 2.500 gram per paket
berbentuk silinder dengan panjang antara 50-70 cm dan diameter (ukuran
tengah) 10-12 cm. “Filter tersebut terpisah dari digesterdan harga di
pasaran sekitar Rp 1 juta per paket,” tambahnya.
Adapun
keunggulan alat itu, Satriyo menyebutkan bahwa materi penyerap
mempunyai sifat/kemampuan multi-adsorpsi (membersihkan) semua gas
pengotor biogas. “Dengan penggunaan filter, kadar gas metana dalam
biogas dapat meningkat sebesar 5-20 % dari kadar metana awal,”
tandasnya.
Keunggulan
lain, lanjutnya, biogas hasil penyaringan mampu meningkatkan efisiensi
konversi (pengubahan) energi listrik dengan menggunakan genset. “Energi
listrik yang dihasilkan maksimal dan sesuai yang diharapkan,” imbuh dia.
Tak
hanya itu saja, lelaki kelahiran Blitar Jawa Timur tersebut menuturkan,
filter juga mengurangi potensi korosi pada kompor atau mesin konversi
energi lainnya. Untuk pengembangan lanjutan, filter dapat dikembangkan
lebih lanjut untuk pemurnian berbagai macam gas yang bersifat sebagai
polutan (penyebab polusi udara), baik di cerobong asap pabrik, kendaraan
bermotor dan lainnya.
Satriyo
menambahkan, alat berbentuk silinder hasil penelitiannya bersama tim
tersebut mengandung material penyerap berbahan padat berbasis material
lokal Indonesia. “Kami membuat alat ini dengan komponen utama berasal
dari dalam negeri,” tutupnya.
Penerapan Penelitian di Beberapa Daerah
Manfaat
sistem pertanian terpadu telah dirasakan di sejumlah kawasan Indonesia.
Sistem ini mampu menggerakan usaha peternakan yang dipandang sebagai
usaha hulu dan budidaya tanaman pangan sampai pengolahan hasil pertanian
sebagai usaha hilir.
Usaha
hilir yang berkembang akan memberikan peluang pada usaha hulu agar
berkembang lebih besar lagi. Perputaran siklus tersebut akan terus
saling menguatkan komponen-komponen kegiatannya dan mampu menekan beban
lingkungan akibat pemanfaatan limbah yang dihasilkan.
Kepala
UPT BPPTK LIPI Yogyakarta, Hardi Julendra menyebutkan bahwa Sistem
Pertanian Terpadu dengan titik tolak alat biogas telah diterapkan di
beberapa daerah sebagai lokasi penelitian sejak tahun 2007. “Selain
diterapkan di Gunung Kidul dan Bantul (Yogyakarta), sistem tersebut juga
telah merambah Wonosobo, Temanggung dan Purwokerto (Jawa Tengah) serta
Belu (NTT),” urainya.
Ia
berharap, sistem pertanian terpadu yang telah dikembangkan itu mampu
berjalan secara berkesinambungan. Tidak hanya berjalan saat penelitian
saja, melainkan masyarakat diharapkan mampu menerima alih teknologi dan
menggunakannya dalam jangka panjang.
Ditekannya,
muara akhir penciptaan sistem pertanian terpadu adalah meningkatkan
nilai tambah kehidupan masyarakat. Terutama, kehidupan masyarakat
pedesaan maupun perbatasan yang menggantungkan hidupnya pada pertanian.
(Purwadi/Humas BKPI LIPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar